#2 - only dead fish go with the flow

maura ☆
3 min readNov 20, 2023

Ketika mereka tiba, tampak pria dan wanita dari segala usia bersetelan rapi duduk di kursi masing-masing. Di depannya terdapat meja panjang penuh hidangan yang telah ditata sedemikian rupa.

Semuanya serba rapi. Rasanya sedikitpun kesalahan akan menjadi sangat menonjol dan mengacaukan segalanya.

Belasan tahun hidup dalam lingkungan serapih itu tidak lantas membuat Hanggini merasa nyaman. Keluarga besar dari garis ayahnya ini lebih terasa seperti penjara berduri. Hanggini membenci itu.

Obrolan setelah makan pun tidak terlalu diperhatikannya. Isinya hanya seputar perkembangan bisnis dan pencapaian para sepupunya. Selama percakapan, ia hanya pura-pura tersenyum seolah sedari tadi ia mendengarkan.

“Hanggini,”

Suara berat dari pria yang kedudukannya paling dihormati di keluarga itu membuat Hanggini sedikit terkejut. Rasa gugupnya semakin menjadi ketika seluruh mata di meja tersebut tertuju kepadanya.

“Selamat atas kemenangan kamu kemarin.”

“Terima kasih, Kakek.”

Wah. Kejutan apa ini? Bahkan ayahnya sendiri sama sekali belum memberinya ucapan selamat.

“Salah satu juri kompetisi yang kamu ikuti itu adalah teman saya. Setelah saya mengobrol dengan dia, katanya dia tertarik untuk merekrut kamu sebagai salah satu pemain di kelompok orkestranya.”

“Kamu pasti pernah dengar mengenai Bu Irina Irmawan, dari Idyllic Youth Symphony Orchestra.”

Hanggini mengangguk. Tentu saja ia tahu.

“Menurut saya kamu harus tertarik. Bagus sekali untuk resume kamu, akan lebih mudah masuk Kampus Ivy kalau kamu bergabung. Hubungi dia segera untuk trial.”

Lagi-lagi kalimat tanpa celah penolakan ia dengar dari anggota keluarga pria di sini. Namun kali ini ia merasa sedikit senang,

“Reina, coba kamu lebih giat lagi seperti sepupumu ini.”

Mendengar kalimat terakhir dari kakeknya itu, rasa senangnya langsung berubah menjadi rasa tidak enak. Ketika mencari orang yang dimaksud, Hanggini bersitatap dengan gadis seusianya yang juga menghadiri sekolah yang sama.

Reina Pramudya. Anak dari kakak kedua ayahnya yang selama ini ia kenal sangat ramah. Di antara semua sepupu dari keluarga itu, Reina adalah yang paling dekat dengannya.

“Baik, Kakek.”

Bahkan ketika diserang seperti itu, Reina masih bisa tersenyum manis. Tidak menunjukkan rasa marah.

Selepas acara, Reina menghampiri Hanggini dan memeluknya hangat.

“Selamat ya, Ni. Maaf baru ngucapin sekarang. Habisnya, aku belum sempat ketemu kamu sejak kemarin.” ujarnya.

“Makasih, Na. Gak apa-apa banget, tau. Aku paham kok, kamu pasti lagi sibuk-sibuknya latihan balet.”

Reina mengangguk-angguk sambil tertawa kecil, memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Rambut yang dikuncir dua juga menambah kesan manis dari dirinya.

Kalau dilihat sekilas mereka berdua tampak seperti anak kembar, bahkan nama panggilan di keluarga pun mirip, Nana dan Nini. Yang paling mudah dibedakan adalah badan Reina yang lebih tinggi daripada Hanggini.

“Jadi gimana? Kamu mau coba trial di sana?” tanya si kuncir dua merujuk pada topik obrolan di meja makan tadi.

“Sebenernya aku seneng dapet tawarannya. Tapi aku masih belum yakin sih, Na”

And why is that?

“Aku takutnya Bu Irina bukan betul-betul tertarik karena permainan aku, tapi cuma nawarin karena koneksi Kakek. Kamu tau aku paling gak suka sama jalur instan nepotisme kayak gini.”

Reina mengangguk, menerima argumen Hanggini dengan baik.

“Ni, I can understand your reason. Dari kecil kita berdua paling gak suka kalau ada praktek nepotisme di keluarga kita. Selama itu kita juga udah berpegang teguh sama prinsip kita berdua. Only dead fish go with the flow, right?

“Tapi, kita semua tau selama ini kamu udah buktiin kalau kemampuan kamu layak. Jadi aku pikir kamu pantas dapat kesempatan sebagus ini. Soal ketakutan kamu kalau Bu Irina gak bener-bener suka penampilan kamu, apapun opininya yang sebenarnya, waktu trial nanti kamu harus kasih pertunjukan yang bikin dia gak ada celah buat nolak kamu.”

Dorongan kalimat panjang dari Reina membuka perspektif baru di kepala Hanggini. Kini ia merasa bahwa nantinya ia akan menyesal apabila melewatkan kesempatan ini. Karena kesempatan tidak datang dua kali.

“You’re right. Should i give it a try?”

Reina melempar senyuman dan kedipan sebelah mata “Definitely.”

--

--